Jumat, 21 Desember 2012

hadits ahkam


BAB I
PENDAHULUAN
Pada hakikatnya, berbagai transaksi muamalah yang berlaku di mana saja berhubungan dengan dua objek utama, yaitu benda material dan non-material, dan ada hak milik pada objeknya. Dengan adanya kepemilikan tersebut, maka pemilik punya izin dan wewenang untuk melakukan sesuatu terhadap objek itu guna memenuhi kebutuhannya. Perbedaan nama dan cara bertransaksi, biasanya didasarkan pada perbedaan objek dan perbedaan konsekuensi yang ditimbulkannya. Perbedaan itu, selain berdasar objeknya, juga didasarkan pada ada atau tidaknya imbalan terhadap objek transaksi itu. Kepemilikan objek material dengan pengganti atau imbalan, dalam fikih biasanya disebut dengan jual beli. Kepemilikan terhadap terhadap objek material tanpa pengganti, biasanya disebut dengan hibah. Kepemilikan objek non-material dengan pengganti, biasanya disebut dengan ijâraħ. Sedang kepemilikan objek non-material tanpa pengganti, biasanya disebut dengan 'âriyaħ.[1] Dari beberapa jenis transaksi tersbeut, dalam bab ini secara sederhana akan dikupas tentang ijâraħ .










BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al-ijarah
Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia.[2]
       Secara terminology ada beberapa definisi Al-ijarah yang dikemukakan oleh para ulama’. Diantaranya:
·         Ulama’ hanafiyah[3]
عقد على المنافع بعوض
Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan
·         Ulama’ syafi’iyah[4]
عقد على منفعة مقصودة معلومة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم
Transaksi terhadap suatu manfaat yang ditiju tertentu bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ijâraħ adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan atas barang itu sendiri. Transaksi ijâraħ didasarkan pada adanya perpindahan manfaat dan . Pada prinsipnya ia hampir sama dengan jual beli. Perbedaan antara keduanya dapat dilihat pada dua hal utama. Selain berbeda pada objek akad; di mana objek jual beli adalah barang konkrit, sedang yang menjadi objek pada ijâraħ adalah jasa atau manfaat, antara jual beli dan ijâraħ juga berbeda pada penetapan batas waktu, di mana pada jual beli tidak ada pembatasan waktu untuk memiliki objek transaksi, sedang kepemilikan dalam ijâraħ hanya untuk batas waktu tertentu.


B.     Dasar hukum Al-Ijarah
Ibn Rusyd menegaskan bahwa semua ahli hukum, baik salaf maupun khalaf, menetapkan boleh terhadap hukum ijâraħ. Kebolehan tersebut didasarkan pada landasan hokum yang sangat kuat yang dapat dilacak dari al-Qur'an dan Sunnah. Di dalam surat al-Baqaraħ (2) ayat 233 disebutkan tentang izin terhadap seorang suami memberikan imbalan materi terhadap perempuan yang menyusui anaknya. Lengkapnya  ath tholaq ayat 6 tersebut berbunyi:
...وإن أردتم أن تسترضعوا أولادكم فلا جناح عليكم إذا سلمتم ما آتيتم بالمعروف...
…Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut….

Penggunaan kata لا جناح dalam ayat itu menunjukkan bahwa dibolehkan mengupah seseorang untuk menyusukan anak.[5] Selain berbicara tentang upah dalam menyusukan, al-Qur'an juga menyebutkan bahwa ijâraħ (jasa upahan) juga dapat dijadikan sebagai mahar dalam pernikahan. Hal itu pernah dilakukan oleh Nabi Syu'aib ketika menikahkan putrinya dengan Nabi Musa, seperti disebutkan dalam surat al-Qashash ayat 27 berikut:
قال إني أريد أن أنكحك إحدى ابنتي هاتين على أن تأجرني ثماني حجج فإن أتممت عشرا فمن عندك وما أريد أن أشق عليك ستجدني إن شاء الله من الصالحين
Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik."
Nabi Muhammad SAW sendiri, selain banyak memberikan penjelasan tentang anjuran, juga memberikan teladan dalam pemberian imbalan (upah) terhadap jasa yang diberikan seseorang. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâriy, Muslim dan Ahmad dari Anas bin Malik menyuruh memberikan upah kepada tukang bekam. Hadis tersebut berbunyi:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال حجم أبو طيبة رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمر له بصاع من تمر وأمر أهله أن يخففوا من خراجه (رواه البخاري ومسلم وأحمد)[6]
"Dari Anas bin Malik ra., ia berkata: Rasulullah SAW berbedakm dengan Abu Thayyibah. Kemudian beliau menyuruh memberinya satu sha' gandum dan menyuruh keluarganya untuk meringankannya dari beban kharâj". (HR. al-Bukhâriy, Muslim, dan Ahmad).


C.    Rukun Al-Ijarah
Banyak persamaan antara ijâraħ dengan jual beli. Selain terlihat dari definisi di atas, di dalamnya juga terkandung makna pertukaran harta dengan harta. Oleh karena itu dalam masalah rukun dan syaratnya, ijâraħ juga memiliki rukun dan syarat yang berdekatan dengan jual beli. Adapun rukun ijarah [7]:
1.     'âqidayn (mu`jir dan musta`jir),
Mu’jir(مؤجر)  yaitu orang yang menyerahkan barang sewaan dengan akad ijâraħ. Sedang yang dimaksud dengan al-musta`jir (المستأجر) adalah orang yang menyewa. Agar akad ijâraħ sah, mu’jir dan musta’jir diharuskan memenuhi syarat berikut:
a.       Berakal dan baligh
b.      Suka sama suka
2.       sîghaħ (ijâb dan qabûl),
Secara umum, shîghaħ ijâraħ disyaratkan bersesuaian dan bersatunya majlis akad seperti yang di persyaratkan dalam akad jual beli. Maka akad ijâraħ tidak sah bila antara ijâb dan qabûl tidak bersesuain, seperti tidak bersesuain antara objek akad dan batas waktu. Selain itu, sama seperti pada transaksi mu'amalah yang lain, akad itu sendiri tidak disertai dengan syarat yang tidak sejalan dengan maksud ijâraħ.



3.     ma'qûd 'alayh (ujraħ dan manfaat).
Dalam ijâraħ juga terdapat dua buah objek akad, yaitu barang atau pekerjaan dan uang sewa atau upah.
Syarat barang dan pekerjaan yang diakadkan
1.      barang dan pekerjaannya dapat diserahterimakan
2.      manfaatnya harus memenuhi syari’at
3.      manfaat yang ada pada barang dan pekerjaan harus diketahui dua belah pihak dengan sempurna agar tidak ada perselisihan pada keduanya.
4.      Batas waktu dan ukurannya harus jelas
Syarat-syarat  ujrah:
a.      sesuatu yang dianggap harta dalam pandangan syari'ah (mal mutaqawwim) dan diketahui.Hal ini didasarkan pada sabda Nabi SAW yang berbunyi sebagai berikut:
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم لا يساوم الرجل على سوم أخيه ولا يخطب على خطبة أخيه ولا تناجشوا ولا تبايعوا بالقاء الحجر ومن استأجر أجيرا فليعلمه أجره (رواه البيهقي)[8]
Dari Abi Hurayrah, dari Nabi SAW: "Janganlah seseorang menawar tawaran saudaranya, jangan meminang pinangan saudaranya, jangan saling memamata-matai, dan jangan saling membai'at dengan melemparkan batu. Orang yang mengupah seorang pekerja, hendaklah ia memberi tahu upahnya". (HR. al-Bayhaqiy)
b.      Sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dangan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
c.       Upah atau imbalan bukan manfaat atau jasa yang sama dengan yang disewakan.
D.    Macam-macam ijarah
Dilihat dari objeknya dibagi oleh ulama’ fikih kepada dua macam, yaitu:
·      ijâraħ terhadap manfaat benda-benda konkrit atau dapat diindera, misalnya penyerahan barang yang disewa kepada penyewa untuk dimanfaatkan, seperti menyerahkan rumah, toko, kendaraan, pakaian, perhiasan, dan sebagainya untuk dimanfaatkan penyewa.
·      ijâraħ terhadap jasa ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarahseperti ini menurut ahli fikih bolehapabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan,tukang jahit,dan lain sebagainya.[9]

E.     Berakhirnya akad ijarah[10]
Sebab-sebab berakhirnya akad ijarah, diantaranya :
§  Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir.
Misalnya yang diseakan itu rumah, maka rumah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya. Apabila yang disewakan itu jasa seseorang maka mereka berhak menerima upah yang telah disepakati.
§  Objeknya hilang atau musnah, seperti rumah yang disewa terbakar atau baju yang dihajitkan hilang.
§  Adanya udur dari salah satu pihak, menurut hanafiyah seperti rumah yang disewakan disita oleh Negara karena lilitan hutang. Menurut jumhur ulama’ udur yang boleh membatalkan akad adalah jika objeknyaada cacat atau manfaat yang dituju akad telah hilang.
§  Menurut hanafiyah jika salah seorang dari pelaku ijarah meninggal maka akad akan hilang. Tapi menurut jumhur ulama’ akad ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang pelaku karena boleh diwariskan.






BAB III
KESIMPULAN
v  Al-ijarah menurut bahasa : upah
v  Al-ijarahMenurut istilah  :akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan atas barang itu sendiri.
v  Hokum melakukan akad ijarah adalah boleh.
v  Rukun ijarah:
1. 'âqidayn (mu`jir dan musta`jir),
2. sîghaħ (ijâb dan qabûl),
3. ma'qûd 'alayh (ujraħ dan manfaat).
v  Macam-macam ijarah ada dua :manfaat pada barang dan pada jasa
v  Sebab-sebab berakhirnya akad ijarah :
a.       tenggang waktu yang disepakati berakhir
b.      objeknya hilang atau musnah
c.       ada udzur dari salah satu pihak
d.      menurut hanafiah jika ada salah satu meninggal.










DAFTAR PUSTAKA
Hadi abd .dasar-dasar hokum ekonomi islam .2010. Jakarta :CV Putra Media Nusantara

Muhammad 'Amim al-Ihsan al-Majdidiy al-Burkatiy, Qawa'id al-Fiqh,1987, Karatisyiy: al-Shadf Fibalsyaraz,
Asy-Syabani al-Khathib, mughni al-muhtaj, jilid II
Sunan al-Bayhaqiy al-Kubra, 1994,Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dâr al-Baz, Juz 6




Tidak ada komentar:

Posting Komentar