BAB I
PENDAHULUAN
Perkara yang membedakan Islam dengan kapitalisme dan
materialisme ialah bahwa Islam tidak pernah memisahkan ekonomi dengan akhlaq,
sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu dengan akhlaq, politik dengan akhlaq,
perang dengan akhlaq dan aktivitas mu’amalah lainnya dengan akhlaq. Islam
adalah risalah yang diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah untuk membenahi akhlaq
manusia. Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”
Perilaku ekonomi kaum
muslimin telah terasingkan dari karakter akhlaq yang mulia. Etika (moral) yang
dikembangkan dalam berbisnis hanya didasari oleh pertimbangan materi semata.
Asas manfaat menjadi tolak ukur dalam perilaku ekonomi mereka. Kejujuran,
amanah, baik hati dan sebagainya hanya dilakukaan saat terdapat manfaat materi
di dalamnya. Ekonomi kapitalis yang jujur hanya dilatarbelakangi oleh
kepentingan yang menguntungkan materi.
Mereka bersikap profesional juga karena manfaat materi.
Kaum muslimin tidak bebas
melakukan kegiatan ekonomi karena mereka terikat dengan iman dan
akhlak.sehingga dalam memproduksi,mendistribusikan dan menkonsumsinya harus
memilah dan memilih serta memikirkan dahulu.Akhlak akan berubah menjadi
karakter menghalalkan segala cara (machiavelisme) dalam berperilaku ekonomi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
AKHLAK DAN
EKONOMI
Akhlak merupakan kata yang berasal dari bahasa arab khuluqun
jama’ dari lafad khalqun yang artinya tindakan ,adap, dan sopan santun
.Defisinya secara luas yakni perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa
seseorang .
Manusia adalah makhluk Allah yang diberi-Nya nafsu dan akal. Karena
itu dia mempunyai kebutuhan lahir maupun batin yang tidak berbatas Akhlaq sebagai
bagian dari hukum syara’ yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya, melalui
hukum-hukum syari'at yang berkaitan dengan sifat-sifat akhlak. Akhlaq menjadi
aturan tersendiri, seperti halnya ibadah dan mu'amalat. Dengan demikian, akhlaq
yang mulia akan senantiasa muncul menyertai pelaksanaan hukum lainnya.
Akhlaq
dalam pandangan bukanlah sekedar sifat baik, buruk atau moral semata. Islam telah mendudukkan akhlaq sebagai realisasi
nilai-nilai tertentu yang diperintahkan oleh Allah SWT seperti jujur, amanah,
tidak curang, ataupun dengki. Jadi akhlak hanya dapat dibentuk dengan satu
cara, yaitu memenuhi perintah Allah SWT untuk merealisir nilai moral, yaitu
budi pekerti yang luhur dan kebajikan. Amanah, misalnya, adalah salah satu
sifat akhlak yang diperintahkan oleh Allah SWT. Maka, wajiblah diperhatikan
nilai moral tersebut tatkala melaksanakan amanat. Inilah yang dinamakan dengan
akhlak.
Oleh
karena itu, akhlaq didefinisikan sebagai sifat-sifat yang diperintahkan oleh
Allah kepada seseorang muslim agar dijadikan sebagai sifat ketika melakukan
perbuatan. Sifat-sifat akhlaq tersebut muncul karena hasil perbuatan manusia.
Seperti khusyu’ merupakan sifat yang diperintahkan dalam pelaksanaan shalat,
sifat jujur dalam berbagai mu’amalat (transaksi), adil dalam kekuasaan dan
sebagainya. Sebagai catatan, keseluruhan aktivitas tersebut tidak secara
otomatis menghasilkan nilai akhlak tertentu. Sebab, nilai tersebut tidak
dijadikan tujuan dari pelaksanaan aktivitas jual beli. Tetapi sifat-sifat
tersebut muncul sebagai hasil dari pelaksanaan amal perbuatan, atau suatu hal
yang selalu wajib diperhatikan dan merupakan sifat-sifat akhlak bagi seorang
mukmin tatkala ia beribadah kepada Allah SWT, dan tatkala ia bermu’amalat.
Dengan demikian, seorang mukmin dari tujuan pertamanya telah menghasilkan nilai
rohani dari pelaksanaan sholat. Sedangkan pada tujuan keduanya, ia menghasilkan
nilai yang bersifat material dalam
perdagangan sekaligus ia telah memiliki sifat-sifat akhlak.
Kebaikan ataupun keburukan dalam akhlaq tidak ditentukan oleh
pandangan manusia tetapi oleh syara’. Seandainya nilai akhlaq ditentukan oleh
manusia, maka ia akan berubah karena tempat dan waktu. Syara' telah menjelaskan
sifat-sifat yang dianggap sebagai akhlak yang baik dan dianggap sebagai akhlak
buruk, menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan. Antara lain menganjurkan untuk
mempunyai sifat jujur, amanah, manis muka, malu, berbakti kepada orang tua,
silaturahmi kepada kerabat, menolong kesulitan orang lain, mencintai saudara
sebagaimana mencintai diri sendiri dan lain-lain yang semisalnya, dianggap
sebagai dorongan untuk mengikuti perintah Allah. Begitu pula syara' melarang
mempunyai sifat-sifat yang bertolak belakang dengan sifat-sifat tadi, seperti
berdusta, khianat, hasud (dengki), melakukan maksiat,
B.
AKHLAK KEPADA ALLAH
Prinsp
utama dalam kehidupan manusia adalah Allah SWT.yang menciptakan seluruh alam
semesta ,sekaligus pemilik ,penguasa serta pemelihara tunggal hidup dan
kehidupan seluruh makhluk yang tiada bandingan dan tandingan ,baik didunia
maupun diakhirat .Ia adalah subbuhun dan quddusun ,yakni bebas dari segala
kerurangan ,kesalahan,kelemahan, dan suci dan bersih dari segala hal .
Sementara
itu manusia diciptakan dalam bentuk yang paling baik sesuai dengan hakikat
wujud manusia dalam kehidupan di dunia ,yakni melaksanakan tugas kekhalifahan
dalam kerangka pengabdian kepada Allah SWT. Sebagai khalifah-Nya di muka bumi
,manusia diberi amanah untuk memberdayakan seisi alam semesta dengan
sebaik-baiknya demi kesejahteraan seluruh makhluk .Allah berfirman yang artinya
Orang-orang
yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka dimuka buni ini ,niscaya mereka
mendirikan sholat dan menunaikan zakat,menyuruh berbuat yang ma’ruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar (al-hajj: 44)
Dengan demikian ,sebagai seorang khalifah allah dimuka bumi
,manusia mempunyai kewajiban kewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang
hubungannya dengan Allah baik kehidupan masyarakatnya,serta harmonis,serta
agama ,akal ,dan budaya terpelihara.
Untuk mencapai tujuan suci tersebut,Allah menurunkan al-quran
sebagai hidayah yang meliputi berbagai persoalan akhlak dan syariah .
C.
AKHLAK KEPADA MANUSIA
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial (al insanu ijtima'iyyun
bi at tob'i). Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa akhlak adalah keadaan
batin seseorang yang menjadi sumber lahirnya perbuatan dimana perbuatan itu
lahir dengan mudah tanpa difikir untung ruginya. Keadaan batin yang sehat akan
melahirkan perbuatan yang benar dan sehat, sebaliknya keadaan batin yang kacau
apalagi yang gelap akan melahirkan perbuatan yang kacau dan buruk. Kualitas
akhlak seseorang mencerminkan kecerdasan emosi dan rohaninya, dan berhubungan
dengan cara berfikir dan cara merasa yang dipergunakannya.
Orang yang cara berfikirnya benar cenderung akan sangat berhati-hati dalam mempertimbangkan suatu perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya, sementara cara merasa yang benar akan membuat orang memiliki kepekaan atas orang lain terhadap perbuatan yang ia lakukan.
Orang yang cara berfikirnya benar cenderung akan sangat berhati-hati dalam mempertimbangkan suatu perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya, sementara cara merasa yang benar akan membuat orang memiliki kepekaan atas orang lain terhadap perbuatan yang ia lakukan.
Oleh karena itu
orang yang berakhlak mulia, bagaikan matahari yang bukan saja dapat
menghangatkan orang lain, tetapi dirinya memiliki derajat panas yang lebih
tinggi, atau seperti minyak wangi yang bukan hanya bisa mengharumkan orang
tetapi dirinya memang harum. Bagi orang yang berakhlak mulia, berbuat baik
bukan hanya kepentingan orang, tetapi lebih kepada kepentingan diri sendiri,
berterima kasih kepada orang lebih kepada mensyukuri diri sendiri dan
menghormati orang lebih pada menghormati diri sendiri.
Dalam berbuat
baik ia tidak membutuhkan penghargaan dari orang lain, karena ia melakukannya
untuk dirinya, seperti matahari yang memanasi dirinya, atau minyak wangi yang
mengharumkan dirinya. Di antara akhlak manusia kepada diri sendiri adalah:
Sabar, jujur, iffah, qana'ah, syukur, tawaddlu' dan sebagainya.
Sabar. Menurut Imam Gazali, sabar ialah tabah
hati tanpa mengeluh dalam menghadapi cobaan dan rintangan dalam waktu tertentu
dalam rangka mencapai tujuan. jadi urgensi sabar adalah pada pencapaian tujuan.
Oleh karena itu orang yang bisa sabar hanyalah orang yang selalu sadar akan
tujuan yang sedang dicapai. Demi perhatiannya pada tujuan maka ia tidak
mengeluh ketika harus menghadapi rintangan, dan demi tercapainya tujuan maka ia
mampu bertahan terhadap proses waktu yang harus dilalui.
Ciri orang
sabar ialah ketika mengalami musibah ia mengembalikan persoalannya kepada Allah
Yang Maha Kuasa dengan mengucap Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Kesabaran
menempatkan seseorang pada kedudukan yang tinggi, mengantar pada derajat taqwa.
Oleh karena itu dikatakan bahwa Allah selalu menyertai orang yang sabar dan
kita diperintahkan untuk selalu saling mengingatkan yang lain agar bersabar
dalam kebenaran dan kasih sayang .
Jujur (Amanah). Dalam bahasa
sehari-hari, karakteristik orang jujur sering digambarkan sebagai orang yang
tidak suka bohong, bisa dipercaya dan gaya hidupnya lurus. Kebalikan dari sifat
jujur adalah suka dusta dan berkhianat yang oleh karena itu gaya hidupnya penuh
dengan tipu daya. Dalam perspektip ilmu akhlak, sifat ini disebut amanah, dan
contoh orang jujur yang disebut Al Qur'an adalah Nabi Muhammad dan Nabi Musa.
Pada masa mudanya, yakni sebelum menjadi Rasul, Muhammad diberi gelar oleh
masyarakatnya dengan sebutan al Amin, Muhammad al Amin, artinya orang yang
amanah, yang dapat dipercaya. Predikat ini diberikan oleh masyarakat karena
mereka belum pernah menjumpai Muhammad berdusta. Apapun yang dikatakan oleh
Muhammad, masyarakat pasti percaya, karena selama hidupnya Muhammad tak pernah
dijumpai berdusta. Nabi Musa juga disebut Al Qur'an sebagai sosok yang kuat dan
jujur
Dalam bahasa
Arab, maupun dalam istilah syara', amanah mengandung banyak arti, tetapi secara
umum seorang yang berakhlak amanah atau jujur adalah orang yang bisa memelihara
hak-hak Allah dan hak-hak manusia pada dirinya, yang dengan itu ia tidak pernah
menyia-nyiakan tugas yang diembannya, baik tugas ibadah maupun tugas mu'amalah.
Amanah juga berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak dan patut.
Kejujuran
merupakan nurani yang ada di dalam batin, bukan pengetahuan yang ada di
fikiran. Oleh karena itu pengetahuan agama, pengetahuan tentang nilai kejujuran
tidak cukup untuk membuat orang menjadi jujur. Kejujuran tidak berlangsung
begitu saja tetapi membutuhkan dukungan infrastruktur yang kondusif untuk itu .
Tak jarang orang baik yang benar-benar jujur kemudian hilang kejujurannya
ketika ia memikul tanggung jawab tugas yang menggoda tanpa sistem pengawasan
yang memadai.
Managemen
kejujuran. Meskipun fitrah manusia pada dasarnya baik, jujur, lugu ,
berketuhanan dan memiliki rasa keadilan , tetapi ia juga memiliki syahwat dan
nafsu yang cenderung menuntut pemuasan mendesak. Sudah menjadi sunnah kehidupan
bahwa daya tarik keburukan itu lebih kuat dibanding daya tarik kebaikan.Untuk
menggapai kebaikan, orang harus berfikir dengan skala jauh, sementara keburukan
justeru menggoda dengan argumen praktis dan langsung, dengan slogan; yang
penting sekarang. Banyak orang mendalami ilmu kebaikan dalam kurun waktu yang
panjang hingga menguasai teori dan hukum-hukumnya, tetapi tiba-tiba ia
terjerumus kepada keburukan yang barn saja dikenalnya.
Iffah dan Qana'ah. Diantara kelengkapan
psikologis manusia adalah syahwat, yakni kecenderungan terhadap apa yang diinginkan.
Secara fitri sebagaimana disebutkan Al Qur'an bahwa manusia dihiasi dengan
keinginan kepada lawan jenis, anak-anak, perhiasan emas perak, kendaraan yang
bagus, kebun yang luas dan hewan ternak Jika manusia menuruti dorongan
syahwatnya maka keinginan itu tak pernah terpuasi berapapun besarnya yang telah
tercapai.
Oleh karena itu syahwat harus dikendalikan hingga sekedar mendorong manusia untuk bekerja, bercita¬cita dan berkehendak.
Oleh karena itu syahwat harus dikendalikan hingga sekedar mendorong manusia untuk bekerja, bercita¬cita dan berkehendak.
Sifat iffah
atau 'afaf adalah bersihnya hati dari menginginkan apa yang ada pada
orang lain, sedangkan qana'ah adalah perasaan menerima apapun yang diberikan
Tuhan kepadanya sehingga hatinya merasa kaya dengan apa yang dimilikinya.
'Iffah terkadang diterjemahkan dengan suci hati, sedangkan qana'ah
diterjemahkan dengan kaya hati
Qana'ah akan membuat pemiliknya hidup dengan tenteram dan selalu berfikir untuk memberi karena merasa kaya meski yang dimilikinya sedikit, sedangkan sifat 'ffah dapat meredam perasaan iri dan dengki kepada orang lain karena ia memang tidak tertarik dan tidak mengharap apa yang telah dimiliki oleh orang lain itu. Kebalikan qana'ah dan 'iffah adalah serakah, yakni merasa yang dimilikinya masih sedikit dan menginginkan setiap apa yang telah dimiliki oleh orang lain. Orang serakah sama sekali tak sempat berfikir untuk memberi meski yang telah dimilikinya sangat banyak, karena pusat perhatiannya terletak pada bagaimana merebut apa yang ada pada orang lain.
Qana'ah akan membuat pemiliknya hidup dengan tenteram dan selalu berfikir untuk memberi karena merasa kaya meski yang dimilikinya sedikit, sedangkan sifat 'ffah dapat meredam perasaan iri dan dengki kepada orang lain karena ia memang tidak tertarik dan tidak mengharap apa yang telah dimiliki oleh orang lain itu. Kebalikan qana'ah dan 'iffah adalah serakah, yakni merasa yang dimilikinya masih sedikit dan menginginkan setiap apa yang telah dimiliki oleh orang lain. Orang serakah sama sekali tak sempat berfikir untuk memberi meski yang telah dimilikinya sangat banyak, karena pusat perhatiannya terletak pada bagaimana merebut apa yang ada pada orang lain.
Tawaddlu' atau Rendah Hati. Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Rendah
diri merupakan sifat negatip, yaitu tidak percaya diri atau minder dalam
pergaulan. Sedangkan rendah hati adalah secara sadar merendahkan dirinya di
hadapan orang lain.Rendah diri merupakan kelemahan, tetapi merendahkan diri
hanya bisa dilakukan oleh orang kuat. Kebalikan dari rendah hati adalah sombong
atau takabbur.
D.
SEJARAH
PERILAKU EKONOMI
Menyaksikan gaya pertempuran Islam yang penuh adab dan akhlak ini
seorang cendekiawan barat bernama Gustav Lobone berkata: “Sejarah tidak pernah
menyaksikan pembuka (penguasa) negeri yang lebih adil dan lebih bertoleransi
daripada orang-orang Arab (Islam)”.
Sebagaimana ilmu pengetahuan, politik dan perang tidak boleh
dipisahkan daripada akhlak, maka demikian pulalah ekonomi. Jika kita perhatikan
sistem ekonomi positif (sekular) niscaya kita akan menemukan satu sistem yang
tidak memperdulikan akhlak sama sekali, terutama sistem ekonomi kapitalis.
Sistem ekonomi seperti ini hanya mementingkan keuntungan dan berapa banyak uang
yang akan masuk saku. Nilai-nilai yang baik, betul dan berahklak tidak pernah terlintas
dalam pikiran mereka.
Akhlak merupakan salah satu unsur yang paling utama dalam ekonomi
Islam. Unsur itu begitu kuat sehingga seorang cendekiawan Perancis
mendefinisikan ekonomi Islam itu sebagai ekonomi yang berakhlak. Disamping
akhlak terdapat nilai-nilai yang mewarnai ekonomi Islam yaitu nilai Rabbani
(ketuhanan), nilai Insani (Kemanusiaan), dan nilai Wasathi (moderat dan
sederhana).
Ekonomi Rabbani mempunyai dua konotasi makna. Makna pertama dari
ekonomi Rabbani ialah: hak untuk mengatur dan menetapkan hukum-hukum ekonomi
ini hanya milik Allah. Allah yang mengharamkan riba, penipuan, memakan harta
orang lain dengan cara yang bathil dan lain-lain. Dan Allah juga yang
mensyariatkan dan mengesahkan transaksi niaga yang bersih dan benar. Makna
kedua adalah: ekonomi yang merupakan sarana dan bukan tujuan. Ekonomi merupakan
suatu fasilitas yang boleh dimanfaatkan oleh setiap Muslim yang membantunya
dalam memenuhi perintah Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Sebab
bagaimanapun juga seluruh kehidupan ini akan berakhir dan bermuara di sisi
Allah. Firman Allah yang artinya Dialah (Allah) yang menjadikan bumi itu
mudah bagi kamu, maka berjalanlah disegala penjurunya dan makanlah sebagian
dari rezekiNya. Dan hanya kepadaNyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”.
(QS. Al-Mulk:15).
Dalam makna ini pula kita mesti memahami konsep Istiklaf (kekayaan
merupakan harta Allah yang diamanahkan kepada manusia). Tugas manusia dalam
memegang harta itu serupa dengan seseorang yang diamanahkan untuk memegang satu
tabung kebajikan. Dia harus menjaga tabung ini dan hanya diizinkan untuk
membelanjakannya sesuai dengan kehendak pemilik harta yang asal. Jika pemilik
harta memerintahkannya untuk mendermakan sebagian daripada harta itu untuk
membina masjid, rumah-rumah kebajikan, atau madrasah, dia akan segera
memberikannya tanpa harus merasa kerugian apa pun. Sebab harta itu memang bukan
miliknya dan dia tidak akan kerugian apa-apa dalam mendermakannya.
Ekonomi Insani ialah membawa
maksud perhitungan kemanusiaan sebagai asas dan prinsip ekonomi. Tidak boleh
manusia dikorbankan untuk memperoleh materi sebaliknya materilah yang harus
dikorbankan demi kepentinga manusia.
Ekonomi Wasathi ialah ekonomi
yang mengambil sikap pertengahan dan moderat. Jika sistem ekonomi kapitalis
menjadikan kepentingan individu sebagai paksi kepada seluruh aktivitas ekonomi,
dan sistem ekonomi komunis menjadikan kepentingan ekonomi sebagai paksi kepada
seluruh paksi aktivitas ekonomi, maka Islam mengambil jalan pertengahan yang
menyeimbangkan antara kepentingan individu dengan negara sehingga tercapailah
kehidupan yang harmoni.
Dan kriteria yang terakhir adalah ekonomi yang berakhlak. Seluruh
aspek dalam ekonomi seperti aspek pengedaran, urusan niaga, pengeluaran, dan
penggunaan bersatu padu dengan nilai akhlak dan budi pekerti yang baik. Allah
tidak membina masjid atau rumah-rumah kebajikan. Sebab Allah itu suci dan baik,
maka Allah hanya menerima perkara-perkara yang suci dan baik pula. (Innallaha
Tayyibun La Yaqbalu Illa Tayyiba).
Islam memerintahkan untuk mengembangkan harta denga cara yang
syar’i, bukan dengan menipu, mengamalkan riba, atau merampas harta orang lain
dengan cara yang bathil. Islam juga memerintahkan kita untuk membelanjakan
harta yang kita peroleh dalam perkara-perkara yang benar dan baik saja. Sebab
harta itu merupakan harta Allah dan ia hanya boleh dibelanjakan sesuai dengan
kehendak dan peraturan Allah saja.
Islam tidak menafikan bahwa tujuan dalam ekonomi adalah untuk
memperoleh harta yang sebanyak mungkin. Tetapi Islam tidak membiarkan
tersebarnya kesan negatif yang timbul akibatbeberapa amalan dalam mencari harta
dan keuntungan.
Semasa Islam mulai menguasai Kota Mekah, orang-orang musyrik dari
jazirah Arab masih berdatangan ke kota Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Tetapi
praktek ibadah haji mereka dipenuhi dengan amalan-amalan syirik dan mereka
melakukan thawaf dengan cara bertepuk tangan dan berbogel. Rasulullah SAW tidak
bisa membiarkan perkara itu terus berlangsung. Baginda melarang orang-orang
musyrik itu melakukan ibadah haji dan menghampiri Masjidil Haram
Larangan Baginda Rasulullah SAW menjadikan penduduk kota Mekah bersusah hati.
Sebab mereka memperoleh nafkah sehari-hari dari hasil perniagaan pada musim
haji. Apabila orang-orang musyrik dilarang melakukan ibadah haji mereka pun
mengalami kerugian yang besar. Allah SWT menyokong tindakan Rasulullah tersebut
dengan mencela para penjaga Mekah yang hanya mementingkan keuntungan pribadi
tanpa memperhitungkan kesan negatif terhadap Islam. Sebagaimana firman-Nya,yang
artinya Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang Musyrik
itu najis, maka janganlah mereka menghampiri Masjidil Haram sesudah tahun ini.
Dan jika kamu khawatir akan menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan
kekayaan kepadamu daripada karunia-Nya, jika Dia menghendaki”. (QS.
At-Taubah:28)
Benarlah firman Allah. Setelah tahun itu Islam berjaya menguasai
negeri-negeri Parsi dan Romawi dan kaum muslimin memperoleh harta rampasan yang
berlimpah ruah. Begitu juga tentang judi dan arak. Sebagian orang melihat bahwa
rumah judi dan berniaga arak akan mendatangkan keuntungan yang banyak. Islam
mencegah hasrat mereka untuk memperoleh keuntungan daripada menjual arak dan
bermain judi sebab Islam melihat mudharat yang lebih besar di balik amalan
tersebut. Firman Allah: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: “Pada kedua-duanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih besar daripada manfaatnya.” (surah
al-Baqarah 2:219)
Ekonomi yang berpaksikan kepada akhlak tidak akan mengorbankan nilai-nilai murni demi mencapai keuntungan materi. Sebaliknya ia akan mengorbankan keuntungan materi demi mencapai akhlak dan budi pekerti yang luhur.
Ekonomi yang berpaksikan kepada akhlak tidak akan mengorbankan nilai-nilai murni demi mencapai keuntungan materi. Sebaliknya ia akan mengorbankan keuntungan materi demi mencapai akhlak dan budi pekerti yang luhur.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam kegiatan ekonomi Akhlak merupakan sesuatu yang mengarahkan
kepada kebenaran dan kelancaran kegiatan ekonomi dengan tujuan kesejahteraan
masyarakat .
DAFTAR PUSTAKA
Azhar karim
,Adiwarman.2004.SEJARAH
PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM .Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada .
Qardawi,yusuf
.1995.Norma dan Etika Ekonomi Islam .Jakarta:GEMA
INSANI PRESS. http://almustaqiim.blogspot.com/2011/05/akhlak-dalam-aktivitas-ekonomi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar