Jumat, 21 Desember 2012

dasar-dasar ekonomi


BAB I
PENDAHULUAN
            Perkara yang membedakan Islam dengan kapitalisme dan materialisme ialah bahwa Islam tidak pernah memisahkan ekonomi dengan akhlaq, sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu dengan akhlaq, politik dengan akhlaq, perang dengan akhlaq dan aktivitas mu’amalah lainnya dengan akhlaq. Islam adalah risalah yang diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah untuk membenahi akhlaq manusia. Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”
 Perilaku ekonomi kaum muslimin telah terasingkan dari karakter akhlaq yang mulia. Etika (moral) yang dikembangkan dalam berbisnis hanya didasari oleh pertimbangan materi semata. Asas manfaat menjadi tolak ukur dalam perilaku ekonomi mereka. Kejujuran, amanah, baik hati dan sebagainya hanya dilakukaan saat terdapat manfaat materi di dalamnya. Ekonomi kapitalis yang jujur hanya dilatarbelakangi oleh kepentingan yang  menguntungkan materi. Mereka bersikap profesional juga karena manfaat materi.
 Kaum muslimin tidak bebas melakukan kegiatan ekonomi karena mereka terikat dengan iman dan akhlak.sehingga dalam memproduksi,mendistribusikan dan menkonsumsinya harus memilah dan memilih serta memikirkan dahulu.Akhlak akan berubah menjadi karakter menghalalkan segala cara (machiavelisme) dalam berperilaku ekonomi.












BAB II
PEMBAHASAN
A.     AKHLAK DAN EKONOMI
Akhlak merupakan kata yang berasal dari bahasa arab khuluqun jama’ dari lafad khalqun yang artinya tindakan ,adap, dan sopan santun .Defisinya secara luas yakni perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang .
Manusia adalah makhluk Allah yang diberi-Nya nafsu dan akal. Karena itu dia mempunyai kebutuhan lahir maupun batin yang tidak berbatas Akhlaq sebagai bagian dari hukum syara’ yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya, melalui hukum-hukum syari'at yang berkaitan dengan sifat-sifat akhlak. Akhlaq menjadi aturan tersendiri, seperti halnya ibadah dan mu'amalat. Dengan demikian, akhlaq yang mulia akan senantiasa muncul menyertai pelaksanaan hukum lainnya.
Akhlaq dalam pandangan bukanlah sekedar sifat baik, buruk atau moral semata. Islam  telah mendudukkan akhlaq sebagai realisasi nilai-nilai tertentu yang diperintahkan oleh Allah SWT seperti jujur, amanah, tidak curang, ataupun dengki. Jadi akhlak hanya dapat dibentuk dengan satu cara, yaitu memenuhi perintah Allah SWT untuk merealisir nilai moral, yaitu budi pekerti yang luhur dan kebajikan. Amanah, misalnya, adalah salah satu sifat akhlak yang diperintahkan oleh Allah SWT. Maka, wajiblah diperhatikan nilai moral tersebut tatkala melaksanakan amanat. Inilah yang dinamakan dengan akhlak.
Oleh karena itu, akhlaq didefinisikan sebagai sifat-sifat yang diperintahkan oleh Allah kepada seseorang muslim agar dijadikan sebagai sifat ketika melakukan perbuatan. Sifat-sifat akhlaq tersebut muncul karena hasil perbuatan manusia. Seperti khusyu’ merupakan sifat yang diperintahkan dalam pelaksanaan shalat, sifat jujur dalam berbagai mu’amalat (transaksi), adil dalam kekuasaan dan sebagainya. Sebagai catatan, keseluruhan aktivitas tersebut tidak secara otomatis menghasilkan nilai akhlak tertentu. Sebab, nilai tersebut tidak dijadikan tujuan dari pelaksanaan aktivitas jual beli. Tetapi sifat-sifat tersebut muncul sebagai hasil dari pelaksanaan amal perbuatan, atau suatu hal yang selalu wajib diperhatikan dan merupakan sifat-sifat akhlak bagi seorang mukmin tatkala ia beribadah kepada Allah SWT, dan tatkala ia bermu’amalat. Dengan demikian, seorang mukmin dari tujuan pertamanya telah menghasilkan nilai rohani dari pelaksanaan sholat. Sedangkan pada tujuan keduanya, ia menghasilkan nilai yang bersifat material dalam perdagangan sekaligus ia telah memiliki sifat-sifat akhlak.
Kebaikan ataupun keburukan dalam akhlaq tidak ditentukan oleh pandangan manusia tetapi oleh syara’. Seandainya nilai akhlaq ditentukan oleh manusia, maka ia akan berubah karena tempat dan waktu. Syara' telah menjelaskan sifat-sifat yang dianggap sebagai akhlak yang baik dan dianggap sebagai akhlak buruk, menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan. Antara lain menganjurkan untuk mempunyai sifat jujur, amanah, manis muka, malu, berbakti kepada orang tua, silaturahmi kepada kerabat, menolong kesulitan orang lain, mencintai saudara sebagaimana mencintai diri sendiri dan lain-lain yang semisalnya, dianggap sebagai dorongan untuk mengikuti perintah Allah. Begitu pula syara' melarang mempunyai sifat-sifat yang bertolak belakang dengan sifat-sifat tadi, seperti berdusta, khianat, hasud (dengki), melakukan maksiat,

B.     AKHLAK KEPADA ALLAH
Prinsp utama dalam kehidupan manusia adalah Allah SWT.yang menciptakan seluruh alam semesta ,sekaligus pemilik ,penguasa serta pemelihara tunggal hidup dan kehidupan seluruh makhluk yang tiada bandingan dan tandingan ,baik didunia maupun diakhirat .Ia adalah subbuhun dan quddusun ,yakni bebas dari segala kerurangan ,kesalahan,kelemahan, dan suci dan bersih dari segala hal .
Sementara itu manusia diciptakan dalam bentuk yang paling baik sesuai dengan hakikat wujud manusia dalam kehidupan di dunia ,yakni melaksanakan tugas kekhalifahan dalam kerangka pengabdian kepada Allah SWT. Sebagai khalifah-Nya di muka bumi ,manusia diberi amanah untuk memberdayakan seisi alam semesta dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan seluruh makhluk .Allah berfirman yang artinya
Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka dimuka buni ini ,niscaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat,menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar (al-hajj: 44)
Dengan demikian ,sebagai seorang khalifah allah dimuka bumi ,manusia mempunyai kewajiban kewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik kehidupan masyarakatnya,serta harmonis,serta agama ,akal ,dan budaya terpelihara.
Untuk mencapai tujuan suci tersebut,Allah menurunkan al-quran sebagai hidayah yang meliputi berbagai persoalan akhlak dan syariah .
C.     AKHLAK  KEPADA MANUSIA
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial (al insanu ijtima'iyyun bi at tob'i). Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa akhlak adalah keadaan batin seseorang yang menjadi sumber lahirnya perbuatan dimana perbuatan itu lahir dengan mudah tanpa difikir untung ruginya. Keadaan batin yang sehat akan melahirkan perbuatan yang benar dan sehat, sebaliknya keadaan batin yang kacau apalagi yang gelap akan melahirkan perbuatan yang kacau dan buruk. Kualitas akhlak seseorang mencerminkan kecerdasan emosi dan rohaninya, dan berhubungan dengan cara berfikir dan cara merasa yang dipergunakannya.
Orang yang cara berfikirnya benar cenderung akan sangat berhati-hati dalam mempertimbangkan suatu perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya, sementara cara merasa yang benar akan membuat orang memiliki kepekaan atas orang lain terhadap perbuatan yang ia lakukan.

Oleh karena itu orang yang berakhlak mulia, bagaikan matahari yang bukan saja dapat menghangatkan orang lain, tetapi dirinya memiliki derajat panas yang lebih tinggi, atau seperti minyak wangi yang bukan hanya bisa mengharumkan orang tetapi dirinya memang harum. Bagi orang yang berakhlak mulia, berbuat baik bukan hanya kepentingan orang, tetapi lebih kepada kepentingan diri sendiri, berterima kasih kepada orang lebih kepada mensyukuri diri sendiri dan menghormati orang lebih pada menghormati diri sendiri.
Dalam berbuat baik ia tidak membutuhkan penghargaan dari orang lain, karena ia melakukannya untuk dirinya, seperti matahari yang memanasi dirinya, atau minyak wangi yang mengharumkan dirinya. Di antara akhlak manusia kepada diri sendiri adalah: Sabar, jujur, iffah, qana'ah, syukur, tawaddlu' dan sebagainya.
 Sabar. Menurut Imam Gazali, sabar ialah tabah hati tanpa mengeluh dalam menghadapi cobaan dan rintangan dalam waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan. jadi urgensi sabar adalah pada pencapaian tujuan. Oleh karena itu orang yang bisa sabar hanyalah orang yang selalu sadar akan tujuan yang sedang dicapai. Demi perhatiannya pada tujuan maka ia tidak mengeluh ketika harus menghadapi rintangan, dan demi tercapainya tujuan maka ia mampu bertahan terhadap proses waktu yang harus dilalui.
Ciri orang sabar ialah ketika mengalami musibah ia mengembalikan persoalannya kepada Allah Yang Maha Kuasa dengan mengucap Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Kesabaran menempatkan seseorang pada kedudukan yang tinggi, mengantar pada derajat taqwa. Oleh karena itu dikatakan bahwa Allah selalu menyertai orang yang sabar dan kita diperintahkan untuk selalu saling mengingatkan yang lain agar bersabar dalam kebenaran dan kasih sayang .
 Jujur (Amanah). Dalam bahasa sehari-hari, karakteristik orang jujur sering digambarkan sebagai orang yang tidak suka bohong, bisa dipercaya dan gaya hidupnya lurus. Kebalikan dari sifat jujur adalah suka dusta dan berkhianat yang oleh karena itu gaya hidupnya penuh dengan tipu daya. Dalam perspektip ilmu akhlak, sifat ini disebut amanah, dan contoh orang jujur yang disebut Al Qur'an adalah Nabi Muhammad dan Nabi Musa. Pada masa mudanya, yakni sebelum menjadi Rasul, Muhammad diberi gelar oleh masyarakatnya dengan sebutan al Amin, Muhammad al Amin, artinya orang yang amanah, yang dapat dipercaya. Predikat ini diberikan oleh masyarakat karena mereka belum pernah menjumpai Muhammad berdusta. Apapun yang dikatakan oleh Muhammad, masyarakat pasti percaya, karena selama hidupnya Muhammad tak pernah dijumpai berdusta. Nabi Musa juga disebut Al Qur'an sebagai sosok yang kuat dan jujur
Dalam bahasa Arab, maupun dalam istilah syara', amanah mengandung banyak arti, tetapi secara umum seorang yang berakhlak amanah atau jujur adalah orang yang bisa memelihara hak-hak Allah dan hak-hak manusia pada dirinya, yang dengan itu ia tidak pernah menyia-nyiakan tugas yang diembannya, baik tugas ibadah maupun tugas mu'amalah. Amanah juga berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak dan patut.
Kejujuran merupakan nurani yang ada di dalam batin, bukan pengetahuan yang ada di fikiran. Oleh karena itu pengetahuan agama, pengetahuan tentang nilai kejujuran tidak cukup untuk membuat orang menjadi jujur. Kejujuran tidak berlangsung begitu saja tetapi membutuhkan dukungan infrastruktur yang kondusif untuk itu . Tak jarang orang baik yang benar-benar jujur kemudian hilang kejujurannya ketika ia memikul tanggung jawab tugas yang menggoda tanpa sistem pengawasan yang memadai.
Managemen kejujuran. Meskipun fitrah manusia pada dasarnya baik, jujur, lugu , berketuhanan dan memiliki rasa keadilan , tetapi ia juga memiliki syahwat dan nafsu yang cenderung menuntut pemuasan mendesak. Sudah menjadi sunnah kehidupan bahwa daya tarik keburukan itu lebih kuat dibanding daya tarik kebaikan.Untuk menggapai kebaikan, orang harus berfikir dengan skala jauh, sementara keburukan justeru menggoda dengan argumen praktis dan langsung, dengan slogan; yang penting sekarang. Banyak orang mendalami ilmu kebaikan dalam kurun waktu yang panjang hingga menguasai teori dan hukum-hukumnya, tetapi tiba-tiba ia terjerumus kepada keburukan yang barn saja dikenalnya.
 Iffah dan Qana'ah. Diantara kelengkapan psikologis manusia adalah syahwat, yakni kecenderungan terhadap apa yang diinginkan. Secara fitri sebagaimana disebutkan Al Qur'an bahwa manusia dihiasi dengan keinginan kepada lawan jenis, anak-anak, perhiasan emas perak, kendaraan yang bagus, kebun yang luas dan hewan ternak Jika manusia menuruti dorongan syahwatnya maka keinginan itu tak pernah terpuasi berapapun besarnya yang telah tercapai.

Oleh karena itu syahwat harus dikendalikan hingga sekedar mendorong manusia untuk bekerja, bercita¬cita dan berkehendak.
Sifat iffah atau 'afaf adalah bersihnya hati dari menginginkan apa yang ada pada orang lain, sedangkan qana'ah adalah perasaan menerima apapun yang diberikan Tuhan kepadanya sehingga hatinya merasa kaya dengan apa yang dimilikinya. 'Iffah terkadang diterjemahkan dengan suci hati, sedangkan qana'ah diterjemahkan dengan kaya hati
Qana'ah akan membuat pemiliknya hidup dengan tenteram dan selalu berfikir untuk memberi karena merasa kaya meski yang dimilikinya sedikit, sedangkan sifat 'ffah dapat meredam perasaan iri dan dengki kepada orang lain karena ia memang tidak tertarik dan tidak mengharap apa yang telah dimiliki oleh orang lain itu. Kebalikan qana'ah dan 'iffah adalah serakah, yakni merasa yang dimilikinya masih sedikit dan menginginkan setiap apa yang telah dimiliki oleh orang lain. Orang serakah sama sekali tak sempat berfikir untuk memberi meski yang telah dimilikinya sangat banyak, karena pusat perhatiannya terletak pada bagaimana merebut apa yang ada pada orang lain.
Tawaddlu' atau Rendah Hati. Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Rendah diri merupakan sifat negatip, yaitu tidak percaya diri atau minder dalam pergaulan. Sedangkan rendah hati adalah secara sadar merendahkan dirinya di hadapan orang lain.Rendah diri merupakan kelemahan, tetapi merendahkan diri hanya bisa dilakukan oleh orang kuat. Kebalikan dari rendah hati adalah sombong atau takabbur.
D.    SEJARAH PERILAKU EKONOMI

Menyaksikan gaya pertempuran Islam yang penuh adab dan akhlak ini seorang cendekiawan barat bernama Gustav Lobone berkata: “Sejarah tidak pernah menyaksikan pembuka (penguasa) negeri yang lebih adil dan lebih bertoleransi daripada orang-orang Arab (Islam)”.
Sebagaimana ilmu pengetahuan, politik dan perang tidak boleh dipisahkan daripada akhlak, maka demikian pulalah ekonomi. Jika kita perhatikan sistem ekonomi positif (sekular) niscaya kita akan menemukan satu sistem yang tidak memperdulikan akhlak sama sekali, terutama sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi seperti ini hanya mementingkan keuntungan dan berapa banyak uang yang akan masuk saku. Nilai-nilai yang baik, betul dan berahklak tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka.
Akhlak merupakan salah satu unsur yang paling utama dalam ekonomi Islam. Unsur itu begitu kuat sehingga seorang cendekiawan Perancis mendefinisikan ekonomi Islam itu sebagai ekonomi yang berakhlak. Disamping akhlak terdapat nilai-nilai yang mewarnai ekonomi Islam yaitu nilai Rabbani (ketuhanan), nilai Insani (Kemanusiaan), dan nilai Wasathi (moderat dan sederhana).
Ekonomi Rabbani mempunyai dua konotasi makna. Makna pertama dari ekonomi Rabbani ialah: hak untuk mengatur dan menetapkan hukum-hukum ekonomi ini hanya milik Allah. Allah yang mengharamkan riba, penipuan, memakan harta orang lain dengan cara yang bathil dan lain-lain. Dan Allah juga yang mensyariatkan dan mengesahkan transaksi niaga yang bersih dan benar. Makna kedua adalah: ekonomi yang merupakan sarana dan bukan tujuan. Ekonomi merupakan suatu fasilitas yang boleh dimanfaatkan oleh setiap Muslim yang membantunya dalam memenuhi perintah Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Sebab bagaimanapun juga seluruh kehidupan ini akan berakhir dan bermuara di sisi Allah. Firman Allah yang artinya Dialah (Allah) yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah disegala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekiNya. Dan hanya kepadaNyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS. Al-Mulk:15).
Dalam makna ini pula kita mesti memahami konsep Istiklaf (kekayaan merupakan harta Allah yang diamanahkan kepada manusia). Tugas manusia dalam memegang harta itu serupa dengan seseorang yang diamanahkan untuk memegang satu tabung kebajikan. Dia harus menjaga tabung ini dan hanya diizinkan untuk membelanjakannya sesuai dengan kehendak pemilik harta yang asal. Jika pemilik harta memerintahkannya untuk mendermakan sebagian daripada harta itu untuk membina masjid, rumah-rumah kebajikan, atau madrasah, dia akan segera memberikannya tanpa harus merasa kerugian apa pun. Sebab harta itu memang bukan miliknya dan dia tidak akan kerugian apa-apa dalam mendermakannya.
Ekonomi Insani ialah membawa maksud perhitungan kemanusiaan sebagai asas dan prinsip ekonomi. Tidak boleh manusia dikorbankan untuk memperoleh materi sebaliknya materilah yang harus dikorbankan demi kepentinga manusia.
Ekonomi Wasathi ialah ekonomi yang mengambil sikap pertengahan dan moderat. Jika sistem ekonomi kapitalis menjadikan kepentingan individu sebagai paksi kepada seluruh aktivitas ekonomi, dan sistem ekonomi komunis menjadikan kepentingan ekonomi sebagai paksi kepada seluruh paksi aktivitas ekonomi, maka Islam mengambil jalan pertengahan yang menyeimbangkan antara kepentingan individu dengan negara sehingga tercapailah kehidupan yang harmoni.
Dan kriteria yang terakhir adalah ekonomi yang berakhlak. Seluruh aspek dalam ekonomi seperti aspek pengedaran, urusan niaga, pengeluaran, dan penggunaan bersatu padu dengan nilai akhlak dan budi pekerti yang baik. Allah tidak membina masjid atau rumah-rumah kebajikan. Sebab Allah itu suci dan baik, maka Allah hanya menerima perkara-perkara yang suci dan baik pula. (Innallaha Tayyibun La Yaqbalu Illa Tayyiba).
Islam memerintahkan untuk mengembangkan harta denga cara yang syar’i, bukan dengan menipu, mengamalkan riba, atau merampas harta orang lain dengan cara yang bathil. Islam juga memerintahkan kita untuk membelanjakan harta yang kita peroleh dalam perkara-perkara yang benar dan baik saja. Sebab harta itu merupakan harta Allah dan ia hanya boleh dibelanjakan sesuai dengan kehendak dan peraturan Allah saja.
Islam tidak menafikan bahwa tujuan dalam ekonomi adalah untuk memperoleh harta yang sebanyak mungkin. Tetapi Islam tidak membiarkan tersebarnya kesan negatif yang timbul akibatbeberapa amalan dalam mencari harta dan keuntungan.
Semasa Islam mulai menguasai Kota Mekah, orang-orang musyrik dari jazirah Arab masih berdatangan ke kota Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Tetapi praktek ibadah haji mereka dipenuhi dengan amalan-amalan syirik dan mereka melakukan thawaf dengan cara bertepuk tangan dan berbogel. Rasulullah SAW tidak bisa membiarkan perkara itu terus berlangsung. Baginda melarang orang-orang musyrik itu melakukan ibadah haji dan menghampiri Masjidil Haram
Larangan Baginda Rasulullah SAW  menjadikan penduduk kota Mekah bersusah hati. Sebab mereka memperoleh nafkah sehari-hari dari hasil perniagaan pada musim haji. Apabila orang-orang musyrik dilarang melakukan ibadah haji mereka pun mengalami kerugian yang besar. Allah SWT menyokong tindakan Rasulullah tersebut dengan mencela para penjaga Mekah yang hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa memperhitungkan kesan negatif terhadap Islam. Sebagaimana firman-Nya,yang artinya Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang Musyrik itu najis, maka janganlah mereka menghampiri Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir akan menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu daripada karunia-Nya, jika Dia menghendaki”. (QS. At-Taubah:28)

Benarlah firman Allah. Setelah tahun itu Islam berjaya menguasai negeri-negeri Parsi dan Romawi dan kaum muslimin memperoleh harta rampasan yang berlimpah ruah. Begitu juga tentang judi dan arak. Sebagian orang melihat bahwa rumah judi dan berniaga arak akan mendatangkan keuntungan yang banyak. Islam mencegah hasrat mereka untuk memperoleh keuntungan daripada menjual arak dan bermain judi sebab Islam melihat mudharat yang lebih besar di balik amalan tersebut. Firman Allah: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada kedua-duanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih besar daripada manfaatnya.” (surah al-Baqarah 2:219)
Ekonomi yang berpaksikan kepada akhlak tidak akan mengorbankan nilai-nilai murni demi mencapai keuntungan materi. Sebaliknya ia akan mengorbankan keuntungan materi demi mencapai akhlak dan budi pekerti yang luhur.



BAB III
KESIMPULAN
Dalam kegiatan ekonomi Akhlak merupakan sesuatu yang mengarahkan kepada kebenaran dan kelancaran kegiatan ekonomi dengan tujuan kesejahteraan masyarakat .



DAFTAR PUSTAKA
Azhar karim ,Adiwarman.2004.SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM .Jakarta: PT Raja Grafindo Persada .
Qardawi,yusuf .1995.Norma dan Etika Ekonomi Islam .Jakarta:GEMA INSANI PRESS. http://almustaqiim.blogspot.com/2011/05/akhlak-dalam-aktivitas-ekonomi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar